JAKARTA,Tribun Riau- Pasca pernyataan Ketua Umum Partai Bulan Bintang (PBB) Yusril Ihza Mahendra (YIM) bahwa Jokowi sebagai calon presiden pejawat tidak perlu mundur sebagai presiden, Ketua Persaudaraan Alumni (PA) 212, Slamet Maarif angkat bicara.
Dikatakan Slamet Ma’arif, dirinya meminta Ketum PBB tersebut untuk ‘berpuasa’ di media, terlebih lagi belum adanya keputusan Ijtima Ulama jilid II.
“Sebaiknya Pak YIM, menunggu hasil musyawarah ulama dalam ijtima’ ulama dua tidak perlu banyak komentar dulu, puasa dari media,” ujar Slamet Ma’arif dilansir Republika, Selasa (11/9).
Apalagi, kata Slamet Ma’arif, PBB dibangun dan dirikan oleh ulama. Bahkan menurutnya, banyak kader PBB dari tokoh ulama binaan Habib Rizieq Shihab (HRS). Oleh karena itu, ia menyakini PBB akan dan selalu berkomitmen dengan perjuangan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Ulama atau Gerakan 212.
“Insya Allah ijtima’ ulama akan dilksanakan tanggal 16 September sesuai dengan arahan Habib Rizieq Shihab. Kami yakin PBB akan komitmen dengan perjuangannnya bersama gerakan 212,” tambahnya.
Saat ditanya apakah ada sinyal dukungan dari Habib Rizieq Shihab terkait Pilpres 2019, Slamet Ma’arif menjawab sinyalnya bakal jelas di ijtima’ ulama. Slamet juga pernah mengatakan arah ijtima’ ulama kedua tidak akan mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin pada Pemilihan Presiden 2019. Ia mengungkapkan, kepastian tidak akan mendukung Jokowi ini sesuai yang disampaikan Habib Rizieq dalam video yang diputar saat Milad FPI (Front Pembela Islam) di Cibubur, 18 Agustus lalu.
Sebelumnya, Sekjen PBB, Afriansyah Noor menyatakan pendapat bahwa Jokowi tak perlu cuti adalah pendapat akademik Yusril sebagai pakar di bidang hukum tata negara. Pendapat akademiknya merupakan pandangan seorang negarawan yang melihat persolan bangsa dan negara secara obyektif dengan mengedepankan kepentingan seluruh bangsa dan negara.
Namun, ia menerangkan, pernyataan tersebut memiliki pesan politik yang tegas. Ia menambahkan sikap Yusril sebagai akademisi biasanya sejalan dengan sikap politiknya. Bagi Yusril, ia menerangkan, seorang politisi haruslah mendasarkan sikap politiknya pada intelektualisme.
“Beliau tidak pernah split personality dalam bersikap,” kata Afriansyah. (rci/red)